“Irama! Sudah hampir setengah
jam kamu di dalam! Ayo cepat!” terdengar suara seorang wanita yang
menggelegar di telingaku. Tidak asing lagi pemilik suara “petir” di pagi
hari itu, tak lain adalah ibuku. Ibu memang suka sekali bernyanyi
setiap pagi, ketika membangunkanku, memanggilku untuk sarapan, atau
ketika aku lama di dalam kamar mandi.
Memang, tak terasa waktu yang kuhabiskan ketika aku berada dalam kamar
mandi. Segera aku membilas diri, sambil tetap bernyanyi dan dalam
hitungan detik aku sudah berjalan menuju kamar. “Cepat sedikit! Kamu
belum sarapan juga!” menggelegar kembali suara ibu dari balik pintu
kamar. “Ya bu!” kataku sambil memakai seragam putih abu-abu, hari ini
hari Senin, aku harus memakai seragam yang lengkap. Topi, dasi, sepatu
hitam harus siap sedia.
Dalam hitungan menit, aku telah
rapi berpakaian. Tas berisi buku pelajaran hari ini telah siap dalam
genggamanku, sebelum aku keluar kamar, kutengok sebentar cermin di
kamar. “Bercermin terus, nanti juga cerminnya pecah!” kata seseorang di
luar kamarku. “Duh, berisik kamu de! Bisanya ganggu kakak aja,” kataku
sambil keluar kamar, hendak mengejarnya namun ia telah masuk ke kamarnya
terlebih dahulu. “Bu, ade tuh!” rengekku.
“Irama! Masih di sana kamu? Sudah cepat makan rotimu! Kalian ini,
adik-kakak kenapa bertengkar terus? Nanti kalau sudah jauh, baru
kangen-kangenan.” Aku hanya tersenyum malu kepada ibu, memang aku dan
adikku tidak akur. Kami sering bertengkar. Walau ia laki-laki dan aku
perempuan, tak pernah akur rasanya. Pertengkaran kami biasanya dimulai
dengan hal-hal sepele, seperti ketika ia mengejek atau sengaja
menyembunyikan barang-barang milikku. Duh, adik seperti itu bikin gemes
sekaligus kesel!
Tak sempat duduk di meja makan, aku mengambil setangkap roti bakar isi
selai cokelat buatan ibu, sebenarnya tidak cukup untuk dijadikan
sarapan, tetapi apa boleh buat, waktu mengejarku. Sambil mengunyah roti
itu, aku memakai kedua sepatuku, merapikan dasiku dan segera berlari
menuju bapak yang sedang baca koran di depan. “Pak, aku pergi dulu yah,”
kataku berpamitan. “Sudah mau berangkat? Tak bareng ademu toh?”
Aku menggelengkan kepala, “Dia masih beres-beres di kamar,” kataku menunjuk ke dalam.
“Pamit dulu sana sama ibu.”
“Ya pak,” kataku sambil beralih kepada ibu yang sedang membawakan secangkir kopi panas untuk ayah. “Bu, aku pergi dulu ya.”
“Rotinya sudah dimakan?” tanya ibu.
“He-eh sudah kok, aku sudah telat nih, dadah,” kataku seraya berlari ke arah teras.
“Eh, sebentar Irama!” panggil bapak.
“Ya, kenapa pak ?”
“Ini uang jajanmu,” kata bapak sambil memberikan dua lembar sepuluh ribuan kepadaku. “Cukup hingga makan siang kan?”
Aku mengangguk, lalu tersenyum kepada bapak dan ibu. Sungguh baik
memiliki kedua orangtua yang selalu pengertian kepada anaknya. “Dadah!”
kataku melambaikan tangan dari balik pagar. Kemudian aku mulai
berlari-lari kecil dari depan rumahku. Letak sekolahku memang tidak
begitu jauh dari sekolah, hanya terpaut sekitar 1 kilometer. Jadi setiap
pagi aku berjalan kaki, terkadang bersama adikku, atau dengan temanku,
Azka namanya. “Oh ya Azka! Aku kan janjian dengan dia untuk berangkat
bareng!” kataku agak panik. Jam tanganku menunjukkan pukul 06.42,
sekitar sepuluh menit lagi sekolahku akan masuk. “Aku harus lari pagi
nih!” kataku setelah mengikat rambutku lalu mengambil start layaknya
seorang pelari. “Aku tak boleh telat! Bisa-bisa kena hukum lagi sama
Bapak Surdi!” Peraturan di sekolahku, siswa-siswi yang telat diharuskan
membersihkan lapangan sekolah dan tidak boleh masuk jam pertama. “Hari
ini ulangan Fisika juga jam pertama, aku tak boleh telat!”
Nafasku berpacu dengan langkahku, rokku yang panjang membuat laju lariku
agak terhambat, ingin rasanya aku memakai celana saja karena tidak
merepotkan. Lagi-lagi peraturan sekolah yang mewajibkanku. “Peduli amat
dengan rok panjang, yang pasti aku tak boleh telat!” Gedung sekolahku
sudah terlihat, hanya tinggal berjarak beberapa ratus meter dari gang
depan. Aku mengambil nafas sebentar, dan melihat jam tanganku kembali.
Pukul 06.48. Masih ada cukup waktu, pikirku. Ketika aku mulai berlari
kembali, sesosok wajah yang kukenal lewat di depan wajahku, yang
wajahnya sudah tidak asing lagi bagiku. Siswi itu berlari juga seperti
aku, hanya saja ia berlari lebih cepat karena tubuhnya yang lebih kecil
daripadaku. “Hei, Azka!” teriakku kepadanya. Ya, nama siswi itu adalah
Azka, teman sekelasku sekaligus teman rumahku. Dia adalah seorang yang
cekatan, lincah, ahli dalam berbicara. Hampir sama denganku, ia juga
seorang yang cuek. Berdasarkan kecocokan itulah, kami cepat akrab.
Azka sejenak menoleh, lalu kembali berteriak kepadaku, “Hah? Ira? Kamu
juga terlambat?” Aku berlari menghampirinya, “Terlambat? Masih ada waktu
kok.” Azka menggelengkan kepalanya, “Kau ini pelupa yah, hari ini hari
Senin, upacara tau!”
Seperti tersengat jutaan voltase listrik, aku kaget mendengar. Ya hari
Senin! Upacara akan segera dimulai, sekolah pasti masuk sepuluh menit
lebih cepat. Untuk itu tadi aku menyiapkan topi, astaga bagaimana aku
bisa lupa! “Astaga! Aku lupa Zka!” Azka memang sudah tidak terkejut lagi
melihat aku yang pelupa ini. Begitupun dia, bangun kesiangan karena
semalam nonton bola bersama ayahnya, begitulah sekiranya ia menjelaskan
kepadaku. Tak berbasa-basi lagi, kami berdua berlari menuju pintu
gerbang sekolah.
Dugaanku benar.
Kami berdua telat masuk pagi itu. Ketika siswa dan siswi yang lain
tengah melaksanakan upacara bendera, kami berdua dan beberapa siswa yang
terlambat berdiri di halaman depan sekolah, berbaris menunggu hukuman
yang akan diberikan. Kulihat satu persatu wajah mereka, ada yang masih
mengantuk, ada seorang siswa yang belum menyisir rambutnya, tak pakai
dasi, gesper atau bahkan lupa memakai kaos kaki. Aku hanya tertawa
sendiri saja melihat hal itu, walau aku sendiri bernasib sama seperti
mereka. Dari sekian banyak wajah yang kulihat, di barisan depan aku
mengenali seseorang. Seorang siswi berkulit sawo matang dengan rambut
lurus tergerai, siapa lagi kalau bukan teman sekelasku, Meli namanya.
Dia memang langganan terlambat, wajar saja rumahnya sangat jauh dari
sekolah. Dia pernah berkata kepadaku bahwa untuk sampai ke sekolah saja
ia membutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan, belum dihitung dengan
macetnya. “Bakal ramai nih pagi ini!” kataku kepada Azka yang berbaris
di sebelahku, Azka sendiri hanya menatapku bingung.
“Fiuhhh.... apa tidak ada tugas yang lebih berat selain belajar?”
kataku sambil memunguti sampah di dekat pohon bambu, di halaman depan
sekolah. “Kalau bapak ibuku melihat ini, mereka akan menangis kurasa.”
“Ya Ra, aku setuju. Masa kita disuruh mungutin sampah sih?” lanjut Azka sejalan dengan perkataanku.
“Sudah ah Zka, aku capek! Habis lari disuruh pungutin sampah juga!”
Kataku sambil memasukkan sampah plastik dan beberapa dedaunan kering ke
dalam tempat sampah. Segera aku duduk di sebelah pohon bambu itu dan
membuka tasku, mencari saputanganku untuk menyeka keringat yang
bercucuran. “Astaga! Kita melewatkan ulangan Fisika Zka!”
Azka hanya terdiam, dia memang tidak peduli mengenai ulangan pelajaran
yang membingungkan itu. “Peduli amat sama itu Ra! Menyusul nanti juga
bisa, Bu Yaya baik ini sama kita.”
“Iya sih, Zka tapi percuma dong aku belajar semalaman...” kataku
meratapi buku paket fisika yang kupegang itu. “Lagi-lagi berdua menyusul
yah?”
“Ehem! Bertiga!” kata Meli yang tiba-tiba bergabung bersama kami. “Kalian jahat melupakan aku!”
“Hehehe, aku lupa ada kamu Mel...” kataku.
“Eh, ngapain kamu disini? Nanti Pak Surdi tau lho kita gak ngambilin sampah,” jawab Azka yang kini turut duduk di sebelahku.
“Sudah tenang saja,” jelas Meli. “Pak Surdi gak bisa lihat kita
disini, tuh dia berdiri di sana, terlalu jauh untuk melihat kita di
ujung sini.” Lalu setelah merasa aman untuk berbincang, kami bertiga
sudah larut dalam pembicaraan ala remaja putri.
Tidak terasa hari Senin itu berlalu dengan cepat, bel berbunyi nyaring
seakan menyegarkan pikiranku dari pelajaran yang rumit. Ingin segera aku
merebahkan diri pada kasur tempat tidurku, menikmati segelas es teh
manis dan membaca majalah favoritku, namun sekali lagi aku harus memacu
otakku di siang hari yang panas itu. Kami bertiga harus mengikuti
ulangan susulan Fisika siang itu juga, bertempat di ruang guru. Untung
saja aku sudah belajar, entah dengan kedua temanku itu. Kami duduk
berjauhan dalam ruang guru, dengan mata Bu Yaya mengawasi gerak-gerik
kami. Setelah setengah jam berlalu, selesai sudah aku berkelut dengan
soal-soal Fisika. Azka dan Meli pun mengumpulkan soal mereka beberapa
menit setelah aku. Lalu kami berjalan pulang bersama, Aku dan Azka
meneruskannya dengan berjalan kaki sementara Meli segera menuju motornya
di parkiran sekolah.
“Zka, daritadi kok aku tidak lihat Adel ya?” kataku memulai pembicaraan.
“Entahlah,” jawab Azka mengangkat bahunya. “Setahuku dia masuk kok, kalau gak salah dia tadi dijemput sama supirnya.”
“Sekarang dia sibuk yah,” sambungku, “Kalo ingat dulu kita suka main sama-sama rasanya kangen deh.”
“Itu sudah 2 tahun lalu Ra, sekarang kita sudah kelas 3, sudah punya
kesibukan masing-masing.” Memang benar, kami ber-empat sudah merupakan
teman sejak kelas 1 SMA. Saat itu kami masih lucu-lucunya bila
dibandingkan sekarang. Temanku yang seorang lagi bernama Adelia, aku
biasa memanggilnya dengan Adel.
Kami ber-empat cukup eksis di sekolah, bukan karena hal buruk lho. Kami
ber-empat adalah siswi-siswi yang telah mengharumkan nama baik sekolah,
mulai dari Adel yang jago renang; dia adalah seorang atlit renang dan
telah memenangkan tiga kompetisi besar sampai saat ini, dan meraih dua
emas dan satu perak di antaranya, dia juga jago bermain piano. Kemudian,
Meli, walau sekilas dia terlihat biasa saja, sebenarnya dia itu
mengikuti olimpiade debat bahasa Inggris dan sudah dua kali membawa nama
baik sekolah kami hingga ke tingkat provinsi. Lalu Azka, selain dia
yang paling “tomboi” di antara kami, Azka yang seorang atlit karate juga
mahir soal berhitung, dia juga dijuluki Mak Pedit, karena setiap
meminjamkan uang kepada temannya akan dikenakan bunga, sungguh orang
yang perhitungan sekali. Tapi itulah teman-temanku, dan aku sendiri?
Irama Melodwi, itulah namaku. “Irama” berarti nada, dan “Melodwi” adalah
permainan kata dari “melodi” dan “dwi” yang artinya alunan nada kedua,
karena aku anak kedua di keluargaku, setidaknya itu yang bapak pernah
bilang padaku. Selain aktif di Paskriba sekolahku, aku pernah mewakili
sekolahku hingga tingkat kota, sungguh menyenangkan. Selain itu aku hobi
bernyanyi dan kata teman-temanku, suaraku bagus dan merdu. Bukan
berarti sombong lho.
Kami semua berteman baik sejak kelas 1 SMA, kemana-mana selalu bersama,
suka duka kami cicipi bersama. Dari disanjung oleh satu sekolah hingga
ditertawakan oleh satu sekolah pun pernah kami rasakan. Kalau dibilang
sahabat tak abadi, bisa dibilang benar bisa dibilang salah, apapun
pendapat orang, bagiku mereka adalah sahabatku selama SMA ini. Tapi
hubungan persahabatan kami mulai berubah, sejak kedatangan seorang siswa
baru, Raden namanya. Entah kenapa karena seorang ini, hubungan kami
yang tadinya baik-baik saja kini berubah menjadi “tidak baik-baik” lagi.
Keesokan harinya, saat bel istirahat berbunyi, aku mengajak kedua
sahabatku, Azka dan Meli untuk makan ke kantin. Kebetulan aku belum
sarapan, karena kesiangan lagi. Namun di tempat kami biasa makan, sudah
duduk menanti Adel bersama semangkuk bakso dan segelas es teh di
depannya. “Kita telat satu ronde nih,” kataku.
Dengan segera, aku memesan indomie rebus lengkap dengan telor
kesukaanku, diikuti oleh Azka dan juga Meli. Tak lupa aku memesan es teh
manis sebagai minumannya. Sambil makan, kami mulai larut dalam
perbincangan.
“Del, kamu kemana saja sih? Kok gak main sama kita-kita lagi?” tanyaku.
“Maaf Ra, aku sibuk les piano, soalnya akan ada lomba, ayahku memintaku untuk meningkatkan latihanku.”
“Lomba? Kapan Del?” tanya Meli.
“Tepatnya dua minggu dari sekarang, di Jakarta, aku diikutsertakan sama papaku.”
“Pantes saja, jadi kamu latihan setiap hari?”
“Iya Ra, aku gak mau mengecewakan papa.” Aku tersenyum kepadanya,
sungguh Adel adalah seorang yang patuh kepada kedua orangtuanya. Tak
seperti aku.
“Ngomong-ngomong soal lomba, kalian udah denger belum soal anak baru
yang ganteng itu?” sambung Meli. “Aku denger, siswi-siswi di sini
berlomba cari tahu tentang dia lho.”
“Ah kamu ini,” kataku, “Kalo enggak ngomongin hape, pasti ngomongin cowo, huuu.”
“Ih biarin, emang kamu enggak penasaran apa sama dia?”
“Enggak tuh,” jawabku dingin.
“Huuu, judes amat sih kamu Ra,” balas Meli. Aku hanya menyendok
bakso ke dalam mulutku saja, menurutku apa pentingnya membicarakan
masalah “cowo”.
“Oh ya aku tau,” sambung Azka, “Anak cowo pindahan baru itu yah? Kalau gak salah namanya...”
“Raden!” jawab Adel secepat kilat. “Itu dia anaknya!” katanya sambil
menunjuk ke arah seberang meja makan kami, terlihat beberapa anak cowo
berjalan ke arah sana, aku kenal beberapa dari mereka. Yang berkacamata
di depan adalah Ubay, terus ketua kelas kami Andra, dibelakangnya
disusul Evan dan wajah yang ini baru kulihat, laki-laki tinggi berkulit
cokelat muda, sudah pasti dia Raden yang dibicarakan.
“Tuh kan ganteng banget,” kata Meli. “Lihat deh badannya tinggi, mukanya manis dan gayanya itu deh oke banget!”
“Setuju, aku langsung luluh nih,” Kata Adel sejalan dengan Meli.
“Ih apasih kalian? Biasa aja tuh dia,” jawabku. “Iya kan Zka?”
“Akan beda ceritanya kalau Raden itu laki-laki yang punya mobil BMW yang menjemputnya dan selalu traktir siapa saja.”
“Huuu, kamu juga ikut-ikutan mereka.”
Raden, oh ya aku ingat, murid baru pindahan di kelas sebelah. Tempo
hari, Bu Yaya memberitahukannya ketika sedang mengajar, beliau bilang
Raden pindahan dari Jakarta, dan sekarang tinggal di sini untuk
bersekolah. “Mohon ya kalian menerima dia dan membuatnya nyaman di
sekolah kita, walau dia tidak sekelas dengan kalian,” pesan Bu Yaya
kepada kami. Sebenarnya aku melihat dia biasa saja, tapi entah kenapa
waktu aku melihat dia seolah matanya menyapa mataku, atau mungkin aku
hanya berlebihan.
Sepulang sekolah, aku dan Azka kembali jalan berdua. Siang itu cukup
terik, jadi aku dan Azka berjalan di balik bayang-bayang gedung sekolah.
Aku yang berjalan tanpa melihat ke depan tiba-tiba, BRUK! Aku menabrak
seseorang hingga tubuhku jatuh ke belakang, Azka segera menolongku.
“Oh, maaf ya, aku tak sengaja...” kataku sambil bangun dan astaga! Itu Raden! Itu Raden yang aku tabrak baru saja.
“Enggak, enggak, aku yang salah, maaf ya...” katanya dengan suara
yang terdengar lembut di telingaku. Dia mencoba melihat bed namaku untuk
mengetahui siapa yang baru ditabraknya. “Hem, maaf ya... Irama?”
katanya.
“Iya, tak apa kok.”
“Aku sedikit meleng tadi,” jelasnya. “Kamu gak apa-apa?”
“Iya, paling Cuma lecet sedikit, sisanya baik-baik aja kok, iya kan Zka?” kataku kepada Raden.
“Oh, jadi kamu yang bernama Azka?” tanya Raden kepada Azka yang
berdiri di sebelahku. Singkat cerita kami berkenalan dan berbincang
sebentar, Raden adalah anak yang sopan, baik dan halus kepada perempuan.
Bahkan dia menawarkan diri untuk menemani kami pulang, tapi aku
menolaknya.
“Lain kali saja ya Den, aku dan Azka mau buru-buru ke warnet,” jelasku.
“Baik, tak apa kok,” katanya dengan tersenyum. Segera aku berpamitan
dengannya dan menarik tangan temanku, Azka untuk segera berlalu
daripadanya.
“Hei Ra, kok ditolak sih tawarannya? Kan lumayan naik mobil BMW.”
“Kamu ini, sudahlah biasanya kita pulang jalan kaki juga, jangan males!” kataku sambil berjalan diikuti langkah dari Azka.
Mungkin sejak saat itu, aku baru menyadari bahwa Raden adalah laki-laki
yang baik, oh tidak apakah aku suka padanya? Baru saja pertama bertemu,
aku langsung teringat terus kepadanya, bagaimana suaranya terdengar atau
tatapan matanya yang berbicara kepadaku. Kenapa ini? Rasanya jantungku
berdegup cepat, ingin rasanya aku ngobrol dengan Raden lagi. Setiap
malam, aku dan ketiga sahabatku itu curhat satu sama lain, tapi kami
tidak pernah ngobrol tentang Raden. Jadi aku rasa aku simpan sendiri
saja cerita ini buatku.
Kini
setiap pagi aku berjalan menuju kelasku, atau ketika makan di kantin,
pandanganku tertuju pada Raden. Mengapa ia terlihat begitu baik di
mataku? Aku rasa aku menyukai dia. Aku tidak pernah bercerita kepada
siapapun mengenai hal ini, kecuali pada Andra, ketua kelasku. Aku
menanyakan nomor Hp Raden kepadanya, dengan kedok ingin bertanya soal
pelajaran Bu Yaya kemarin. Untung saja Andra tak banyak bertanya, segera
setelah itu aku sudah mendapatkan nomor Hp Raden. “Malam ini aku sms
dia ah,” kataku dalam hati.
Waktu menunjukkan pukul setengah 8 malam, rasanya sudah berat kedua
mataku. Kututup saja buku pelajaran sejarah yang sedari tadi kubaca
untuk ulangan besok. Kurebahkan diriku pada ranjang, dan kuambil Hpku.
“Ah, aku sms enggak ya Raden? Gimana kalo enggak dibales?” tanyaku. Aku
takut mengganggunya, karena sejujurnya aku belum kenal dia, mungkin saja
ia sudah lupa sama aku. Tapi akhirnya aku sms dia juga, “Hai Raden,
lagi apa? Masih ingat aku, Irama?” Kok aku jadi berdebar-debar yah? Jadi
gugup sendirian, gak salah kan sms begitu sama seseorang?
Tak lama, Hpku berdering, satu pesan masuk. Segera saja kubuka, dari
Raden ternyata! “Hai juga Irama, iya aku ingat kok, maaf yah soal waktu
itu, ada apa?” tanyanya dalam sms. Kuputuskan untuk berbalas sms dengan
dia, mulai dari hal-hal kecil hingga yang mendalam. Cukup lama kami
berdua smsan. Aku jadi mengetahui, kalau Raden itu pindah ke sini karena
ayahnya yang seorang arsitek sedang dinas di kota ini, tapi dia juga
tidak tau sampai kapan akan tinggal disini. Tak kusadari jam menunjukkan
pukul 9 kurang, aku sudah mengantuk berat rasanya, hingga aku lupa
membalas sms darinya kembali.
Hari Sabtu tiba, hari ini tidak ada kegiatan belajar mengajar di
sekolahku. Aku diminta oleh adik kelasku untuk melatih junior-junior
Paskibra. Jadi sudah sejak pukul 7 pagi aku berada di sekolah. Sampai
kira-kira jam 9, aku yang sedang beristirahat, melihat Hpku dan baru
menyadari kalau sms dari Raden semalam belum dibalas. Maka aku
mengirimkan pesan kepadanya, “Maaf yah semalam aku ketiduran, hehehe.”
Kami pun mulai smsan lagi, dan aku juga baru tau kalau Raden tidak ke
sekolah hari itu. Dia bersama teman-temannya sedang bermain di rumah
Andra. Cukup lama kami smsan, hingga malam pun masih aku tekuni. Dia itu
tidak membosankan orangnya, asik diajak bicara dan sopan sekali. Aku
juga bercerita kepada ibu mengenai hal ini, ibu hanya berpesan, “Jangan
terlalu terlena dengan laki-laki, kalau sudah jatuh nanti sakit
rasanya.”
Sudah satu bulan ini setiap hari aku smsan sama Raden, walau aku masih
bermain dengan Azka, Adel dan Meli, sedikitpun tak pernah aku singgung
masalah ini dengan mereka. Cukup aku saja yang mengetahuinya. Tapi,
entah kenapa aku merasa nyaman sama Raden, apa karena dia baik dan sopan
ya? Dia juga terkenal baik di antara guru. Tetapi aku masih bingung,
sebenarnya aku suka sama dia atau tidak? Ketika di sekolah kami jarang
bertemu, karena aku bersama-sama dengan teman-temanku, sementara dia
bersama teman-temannya. Kadang, ketika aku dan teman-teman melihat dia,
dia seolah melirik kepadaku dan tersenyum, atau karena perasaanku saja
ya?
Malam itu, setelah selesai mengerjakan tugas bahasa Inggris, aku kembali
sibuk dengan Hpku. Tapi dari jam makan malam, hingga sudah mengantuk,
tidak kuterima sms dari Raden. Ingin aku mengirim sms kepadanya dan
kembali berbincang seperti biasa, tapi aku malu, dan kenapa harus aku
terus yang sms dia duluan? Malam itu terasa sepi, tanpa sms dari dia
yang aku tunggu.
Keesokan harinya, ketika sedang berkumpul dengan teman Paskibra, aku
memutuskan untuk bercerita dengan seorang temanku yang lain. Aku yakin
dia tidak bermulut ember dan bisa menyimpan rahasia ini antara kami
berdua.
“Hei, Syahra, bisa ngobrol sebentar?” tanyaku.
Syahra, yang sedang duduk sendirian segera mempersilahkanku, “Kenapa Ra? Sini duduk disebelahku.”
Kutaruh tasku disebelahku, “Begini, aku bingung mau mulai cerita darimana sama kamu...”
“Tentang apa Ra? Kamu lagi ada masalah?”
“Bukan, bukan itu. Aku mau ngomong tapi enggak enak, aku malu.”
“Kenapa harus malu?”
“Janji yah kamu enggak akan ketawa atau bilang ini ke orang lain?” tanyaku sambil menatap matanya.
“Iya Ra, aku janji, kenapa?”
Lalu
aku mulai bercerita kepada Syahra, mulai dari aku bertabrakan dengan
Raden hingga kemarin malam aku tidak smsan dengan dia. Syahra
mendengarkan dengan seksama, hingga aku selesai bercerita, dia
mendengarkannya dengan penuh perhatian dan serius.
“Jadi, gimana menurutmu?” tanyaku.
Syahra tertawa cukup keras. Segera aku menjadi malu, karena beberapa
teman dan junior lainnya melihat ke arahku dan dia. Aku yang diliputi
rasa malu dan wajah yang memerah, ingin segera bangkit darisana dan
pergi. Tapi, Syahra menahan tanganku.
“Eh, eh mau kemana kamu Ra?” cegahnya memegang tanganku. “Aku belum ngomong apa-apa.”
“Habisnya kamu ngetawain aku begitu sih,” kataku kesal sambil kembali duduk.
“Maaf, maaf, habisnya kamu lucu sih Ra.”
“Lucu kenapa?”
“Itu artinya kamu suka sama dia, tapi kamu enggak mau ngakuin kan?”
tanya dia kembali. “Kalau ada dia kamu nyaman, kalau lihat dia kamu suka
senyum-senyum sendiri, apa lagi yang kamu tunggu?”
“Maksud kamu yang aku tunggu?” tanyaku penuh keheranan.
“Iya, kamu tunggu apa lagi, tunggu dia nembak kamu gitu Ra?”
“Eh, kok kamu bisa berpikiran begitu?”
“Kamu ini gimana, kalau kamu suka sama dia, buat apa nunggu lagi?
Keburu diambil orang nanti Ra, yang ada kamu nyesel belakangan.”
“Tapi aku kan cewe...” kataku.
“Terus, cewe gak boleh nembak gitu? Kuno amat sih kamu! Kalau aku
jadi kamu sih, aku akan tembak dia segera, dan nyatain perasaan sama
dia. Sebentar lagi valentine nih, aku sih akan beli cokelat terus
nyatain perasaanku sama dia deh, tapi sebelum itu aku cari tau dulu
bagaimana perasaan dia sama kamu.”
“Terus, kalau ternyata dia gak suka sama aku? Setelah aku nyatain perasaan malah gak bisa sedeket kaya begini gimana dong?”
“Ra, Ra, kamu ini terlalu medok ya? Soal diterima atau enggaknya itu
belakangan, yang penting kamu enggak sakit nahan perasaan yang kamu
miliki buat dia, setelah nyatain kamu akan lega, soal nantinya itu
terserah dia mau jawab apa kan?”
Memang benar kata temanku ini, aku memang tak bisa menyimpan perasaan
ini lebih lama lagi. Rasanya bercampur aduk antara suka, khawatir, takut
dan penasarannya. Syahra benar, aku harus menyatakan perasaan ini, aku
harus berani. Setidaknya itu yang ada di pikiranku sekarang. Tapi
bagaimana nanti aku bercerita sama Azka, Adel dan Meli? Mereka
mendukungku atau tidak.
Malam pun kembali tiba, bintang-bintang bersinar kelap-kelip di angkasa,
dengan sang rembulan mengawasi setiap gerakannya. Waktu telah
menunjukkan pukul 8, lagi-lagi kesepian menghantuiku. Rasa bosan
mendekapku dalam, karena tak ada sms dari Raden, hanya sms dari Azka
yang menanyakan ulangan besok dan sms dari Meli yang membicarakan hape
barunya. “Ayo dong Den, kamu kemana? Sms aku dong.”
Beberapa menit setelahnya, hpku berdering, memecah kesunyian malam.
Segera aku melompat dari ranjangku dan membuka sms itu. Dari Raden!
Astaga telah kunantikan sms dari dia, namun kali ini bukan sms seperti
biasa, dia mengirimkan sepotong puisi kepadaku dengan judul Semanis
Lautan Madu, yang cukup panjang juga. Begitu menyentuh kata-kata yang ia
kirimkan, setelah itu aku segera membalas sms darinya, “Puisinya bagus
Den.” Setelah itu kami kembali smsan hingga larut malam, betapa
senangnya aku bisa kembali smsan dengan dia. Aku bertanya kemana dia dua
hari ini baru bisa sms sekarang, dia berkata bahwa dia sedang sibuk
dengan tugas-tugas, seolah mengiyakan aku juga menjawab bahwa
tugas-tugas pelajar sekarang sangat membebani. Aku pun seperti biasa,
tertidur duluan.
Hari Valentine tinggal beberapa hari lagi, tak sabar rasanya aku
memberikan hadiah sekotak cokelat kepada Raden, sekaligus untuk
menyatakan perasaanku kepadanya. Saat itu, seperti biasanya kami
ber-empat duduk di kantin dan ngobrol. Kali ini senyuman terus menghiasi
wajahku.
“Duh, si Ira baru dapat bonus dari ortunya nih,” kata Meli memulai pembicaraan.
“Iya, daritadi senyum-senyum terus, bonusnya banyak yah Ra? Traktir kita-kita dong,” pinta Azka.
“Ih apasih kalian? Enggak kok, aku lagi seneng aja,” jawabku.
“Seneng kenapa sih?” tanya Meli.
“Ada deh pokoknya.”
“Tapi, dibalik senyummu ada yang cemberut tuh,” kata Azka sambil
melirik ke arah Adel. Adel terlihat diam saja, dengan wajah yang tidak
seceria Adel yang biasa.
“Kamu kenapa Del?” tanyaku.
“Enggak kenapa-kenapa kok, cuma cape aja,” jawabnya singkat.
“Yakin? Kamu gak seperti biasanya Del.”
“Enggak kenapa-kenapa kok temen-temen, sudah ya aku duluan ke
kelas,” katanya seraya meninggalkan kami bertiga. Aneh, pikirku. Adel
yang biasanya ceria, kini menjadi pendiam.
“Ada apa ya sama Adel?” tanya Meli.
“Tau deh, mungkin dia lagi males ngomong sama kita-kita, aku denger-denger Adel lagi suka sama seseorang,” jelas Azka.
“Sama siapa Zka?” tanyaku.
“Tau deh, coba aja kamu cari tau.”
“Hah sudah, daripada ngomongin Adel, gimana kalau kalian temenin aku nanti pulang sekolah? Mau nggak?” tanya Meli.
“Kemana Mel?” tanya Azka, “Kayaknya aku enggak bisa deh, soalnya mamaku ngajak aku jalan-jalan sore nanti.
“Ih, kamu kok begitu sih Azka, aku mau beli hadiah buat adikku, kalo
kamu gimana Ra?” tanyanya kepadaku. “Bisa kan temenin aku?”
“Duh maaf ya Mel,” jawabku, “Nanti sore aku mau ke dokter gigi sama
ibu, aku udah janji jauh-jauh hari.” Sebenarnya, sore nanti aku mau
membelikan cokelat sebagai hadiah untuk Raden. Aku terpaksa berbohong
sama teman-temanku.
“Yaudah deh, aku sendiri aja,” kata Meli.
Baru
kali ini aku menolak ajakan teman-temanku, untuk seorang cowo. Aku rela
meninggalkan waktu bersama teman-teman, hanya untuk membelikan hadiah
untuk Raden. Tetapi inilah kata hatiku, aku tidak dengan teman-temanku,
akan tetapi ini harus aku lakukan. Sesekali saja aku mengikuti apa yang
hatiku katakan.
Maka sore harinya, setelah izin kepada ayah dan ibu, aku pergi sendirian
ke mall di dekat rumahku. Sambil melirik-lirik setiap toko kue dan
cokelat yang ada disana, aku memilih cokelat yang baik untuk hadiah.
Langkahku terhenti di sebuah toko cokelat kecil di lantai tiga, tepat di
sebelah toko buku. Aku membeli sekotak cokelat berbentuk hati, yang
menggambarkan perasaan hatiku untuk Raden. “Semoga dia suka,” kataku
dalam hati lalu aku berjalan pulang meninggalkan toko tersebut.
Hari yang kunantikan telah tiba, hari Valentine yang penuh dengan nuansa
cinta. Walau aku bukan seorang perempuan yang terlalu “feminim” tapi
untuk acara malam ini, aku memilih untuk berdandan. Tepat hari Sabtu,
malam minggu, akan diadakan acara rapat perpisahan untuk kelas 3, dan
aku termasuk salah seorang panitia kelas. Raden pun akan datang, dan
kesempatan ini akan aku manfaatkan untuk menyatakan perasaanku
kepadanya. Kalau tidak salah, rapat dimulai jam setengah tujuh malam,
aku segera menyiapkan kotak cokelat yang kubungkus rapi dengan pita
berwarna merah dan kumasukkan ke dalam tasku. Hanya dengan memakai kaos
coklat dan jeans, beserta bando favoritku, aku segera melangkahkan kaki
menuju sekolahku.
Jam tanganku menunjukkan pukul 6.20 tepat, ketika aku tiba di pintu
gerbang. Ketika berjalan masuk, aku melihat motor Meli diparkirkan di
parkiran sekolah, apa yang dia lakukan sesore ini di sekolah, pikirku.
Ah sudah tak usah ambil pusing soal dia. Aku berjalan melewati lapangan
dan kudapati Azka yang baru selesai latihan karate, dia hanya
melambaikan tangannya dari kejauhan. Kubalas lambaian tangannya itu.
Tetapi, sudah sesore ini, kenapa dia belum pulang? Setahuku, latihan
karate telah selesai setengah jam yang lalu. Tapi sudahlah, kenapa aku
malah memikirkan dia?
Aku segera berjalan ke arah aula untuk berkumpul dengan yang lainnya.
Disana sudah ada beberapa teman yang telah tiba, dan Raden pun sudah
disana. Aku duduk di dekat pintu keluar, dan mengamati dirinya dari
kejauhan, sayangnya aku tidak bisa mendekat saat itu. Dia terlihat
sedang bercengkrama dengan beberapa temannya.
Rapat dimulai, semua siswa dan siswi segera duduk berkumpul membentuk
lingkaran. Aku dan Raden tepat duduk berhadapan, bergetar rasanya hatiku
ketika menatap matanya. Dia tersenyum kembali ketika melihatku. Antara
ragu dan yakin, untuk mengatakan perasaan yang sebenarnya. Rapat dibuka
oleh ketua panitia, dan rapat itu berlangsung semu. Waktu berjalan
sangat lambat bagiku, satu menit bagaikan satu jam rasanya. Tanpa
berpikir ke arah rapat, aku hanya berpikir kata-kata apa yang cocok
untuk kusampaikan kepada Raden nanti.
Rapat
selesai tepat pukul 7.15 malam, yang menghasilkan ketidaksetujuan.
Panitia yang hadir belum dapat menemukan titik temu antara
pendapat-pendapat yang masuk, sehingga rapat ditunda dan akan
dilaksanakan segera setelah pengumuman diberikan. Ini saatnya, kataku.
Setelah melihat suasana agak sepi, aku yang sudah dari tadi menanti di
intu gerbang, menunggu Raden untuk berjalan keluar. Kotak cokelat itu
masih kusimpan di dalam tasku. “Aku harap dia menyukainya, tetapi dia
mau enggak ya?” tanyaku berulang-ulang dalam hati, gusar rasanya menanti
ketidakpastian ini. Setelah lima belas menit menunggu, akhirnya
keluarlah Raden dari dalam. Segera aku menghampirinya.
“Hei, Raden,” sapaku dengan senyuman.
“Oh hei Ira, lagi apa kamu disini? Belum pulang?” tanyanya agak terkejut.
“Iya, aku lagi nunggu seseorang,” kataku malu-malu.
“Oh ya? Siapa yang kamu tunggu?”
“Kamu Raden.”
“Aku? Kamu nunggu aku? Ada apa memangnya?”
Jantungku
berdegup kencang, seperti mobil balap yang sedang berpacu menuju garis
finish. Tak ada waktu untuk mundur lagi, sekaranglah waktu untuk
mengatakannya.
“Sebenernya, aku... sebenernya...”
“Ya, apa sebenernya Ra?” tanyanya dengan halus. Sungguh membuat bulu romaku berdiri.
“Den, aku... aku suka sama kamu...” kataku terputus-putus. Rasanya
jantungku semakin berdetak cepat. “Sudah lama, ya sudah lama.... aku
ingin mengatakan itu, aku... aku suka sama kamu Den. Ini... ini untuk
kamu...” kataku seraya memberikan sekotak cokelat dari dalam tasku
kepadanya.
Raden yang pandangannya penuh kelembutan, mendadak terdiam. Matanya
membelalak seakan kaget, dan mulutnya mulai terbuka lebar. Dia tertawa
dengan kencang.
“Hahahaha, kenapa rupanya kalian ini?” katanya sambil tertawa.
Aku
agak kaget, yang tadinya jantungku berdegup kencang, kini menjadi
hilang ketegangan itu. Kini aku merasa kesal bercampur malu. “Kenapa?
Kenapa kamu tertawa Den? Memangnya lucu yah?”
Raden masih saja tertawa. “Hahaha, dengarkan. Dengarkan aku dulu
Ira, pertama, aku ini sudah memiliki pacar, kedua, aku hanya
menganggapmu sebagai teman, janganlah kamu beranggapan lebih, dan
ketiga...”
Entah mengapa aku
tidak kaget mendengar hal itu, apa karena aku telah menyatakan
perasaanku kepadanya? Atau karena aku berhasil menebak apa yang akan dia
katakan.
“Apa yang ketiga?” tanyaku penasaran.
“Hari ini kamu adalah perempuan ke-empat yang menembak aku dengan cara yang sama seperti yang sebelumnya...”
“Hah?” kataku kaget. “Maksud kamu?”
“Itu lihatlah di dalam,” katanya menunjuk ke arah lapangan sekolah.
Disana aku melihat ketiga sahabatku, Azka, Adel dan Meli sedang berdiri
di pinggir lapangan.
“Sekali lagi maaf ya Ra, aku tak menganggapmu lebih.”
“Oh, ya tak apa, maafkan aku juga.” Lalu aku pamit kepada Raden,
sejujurnya aku tidak sedih, tidak kecewa dan juga tidak senang. Hanya
saja aku merasa sangat lega, karena telah menyatakan perasaanku
kepadanya. Mungkin Raden bukan pilihan yang tepat untukku.
Aku
segera berlari menuju ke arah sahabat-sahabatku itu. Terlihat Meli dan
Azka sedang duduk bersama Adel yang tertunduk diam. Aku menghampirinya,
“Hei, sedang apa kalian disini?”
Kaget
dengan kehadiranku, Meli dan Azka segera bangkit berdiri, sementara
Adel yang tadinya tertunduk diam segera melirik ke arahku, menghapus air
matanya dan berhenti menangis. “Kamu kenapa Del?” tanyaku.
“Lho? Kamu juga rupanya?” tanya Meli.
“Juga apanya?” tanyaku kembali.
“Raden,” kata Adel yang masih merah matanya. “Kamu juga ditolak sama Raden kan?”
Aku diam sejenak, jangan-jangan ketiga sahabatku ini juga berpikiran
yang sama seperti aku. “Tunggu sebentar... jadi kalian juga?”
Mereka bertiga mengangguk. Kemudian aku mulai tertawa dengan keras.
Ketiga sahabatku itu melihatku penuh keheranan. “Kenapa kamu Ra?” tanya
Azka.
“Hahaha lucu yah, kita semua begini, gara-gara Raden seorang...” jawabku.
“Ya, karena seorang cowo, kita semua jadi tidak sedekat dulu,” sambung Meli. “Maafkan aku ya teman.”
“Aku juga,” susul Azka. “Bodohnya kita berlomba-lomba mendapatkan
hati satu orang laki-laki, toh cowo yang ganteng dan tajir tidak hanya
dia kok.”
“Setuju!” sambung Meli.
“Aku juga ya teman,” kataku sambil merangkul ketiga sahabatku itu.
“Maafkan kalian selama ini aku diam saja dan tidak bercerita, bahkan aku
berbohong kepada kalian.”
Meli tersenyum padaku, begitu
juga Azka. Namun Adel masih terlihat sedih. “Sudahlah Del,” kataku,
“Kamu itu cantik, banyak cowo lain yang suka sama kamu.”
Adel kembali tersenyum dan mendekapku kini. “Kamu benar Ra, aku bodoh ya menangis untuk hal yang tidak diperlukan.”
“Mungkin kita semua bodoh ya,” kataku kepada mereka. “Karena Raden
kita jadi begini dan melupakan persahabatan kita, mulai saat ini, ayo
kita lupakan sejenak masalah cowo dan kembali bersama-sama lagi seperti
dulu.”
“Kau benar, aku setuju,” kata Meli diikuti yang lainnya. Kemudian
kami tertawa bersama karena menyadari kekeliruan kami. Meninggalkan
sahabat untuk seorang lelaki? Tidak akan pernah lagi.
“Sebentar Ra, terus cokelat ini buat apa?” tanya Meli. “Kalian masing-masing bawa satu kan?” Kami semua mengangguk.
Aku memutar otakku sebentar dan
mendapatkan ide yang baik. “Begini saja, bagaimana kalau kita makan
cokelat yang kita punya bersama-sama? Itulah arti sahabat yang
sesungguhnya, cokelat persahabatan sebagai hadiah terindah di hari
Valentine ini, hari kasih sayang sahabat.” Mereka semua setuju, dan kami
pun bertukaran cokelat dan memakannya bersama-sama. Inilah makna
Valentine yang sesungguhnya, bukanlah cinta, bukanlah cokelat, akan
tetapi kehadiran kita sebagai seorang sahabat yang selalu dibutuhkan
bagi orang lain.
Seminggu setelahnya, kami sudah
berteman baik kembali bahkan semakin dekat. Soal Raden? Ya, biarlah dia
mengurus urusannya sendiri. Aku dan Raden hanya berteman saja kini.
Tetapi aku, Azka, Adel dan Meli adalah sahabat selamanya. Janji kami
disaksikan oleh “sahabat cokelat”.
Siang itu ketika istirahat, kami
ber-empat kembali makan di kantin. Sedang asyik-asyiknya makan
datanglah Syahra bergabung bersama kami. “Eh, kalian sudah dengar cerita
baru belum?” Aku mengangkat bahuku mendengarnya.
“Apa memangnya?” tanyaku.
“Itu lho, murid pindahan baru, Edo namanya, ganteng dan manis
banget, tuh orangnya,” katanya kembali. Kami ber-empat segera melirik
satu sama lain, dan kemudian berkata, “Enggak akan kena lagi tuh!” Lalu
kami tertawa bersama. Syahra hanya heran melihatnya.